9.10.15

Ada yang Romantis!

Sejak pertama kali bisa menulis, pesen ibu ke saya ada dua, yaitu:
Pertama, tulisannya yang bagus, pi, biar orang mudah bacanya.
Kedua, setiap nulis selalu diawali dengan nulis bismillah, yah nak.

Hasilnya hingga saat ini tulisan tangan saya termasuk kategori mudah-terbaca, sementara tulisan tangan saya untuk huruf Arab termasuk kategori maap-inih-tulisan-apa-gambar-yah. Kecuali untuk kalimat bismillahirrahmanirrahim.

Rutin menuliskan kalimat itu di bagian atas semua tulisan ternyata punya dampak positif dan negatif buat saya. Positifnya, tulisan huruf Arab saya semakin lancar dan terbaca. Negatifnya, saya menganggapnya jadi sekedar kebiasaan dan nyaris melupakan maknanya.

Yaah..gak bagus-bagus amat, sih, tapi kebaca, kan? hehe..

 Tapi, yah, kalau Allah ingin mengingatkan hamba-Nya mah ada ajah jalannya. 
Seperti hari ini. 

Dari kemarin saya sedang mengikuti penjelasan Nouman Ali Khan tentang surat Al-Fathihah, setelah satu jam lebih membahas ayat pertama, beliau akhirnya sampai di ayat ar rahman ar rahim. Dalam bahasa Indonesia diartikan Maha Pengasih Maha Penyayang. Tapi ternyata setelah mendengar penjelasan beliau, kata "kasih" dan "sayang" jadi terdengar kurang lengkap menggambarkan nama Allah arrahman arrahim.

"Kasih" dan "sayang" punya makna yang mirip, bahkan lebih sering dijadikan satu frasa "kasih sayang". Intinya menggambarkan sebuah perasaan suka, cinta, perhatian, dan murah hati. Padahal makna arrahman arrahim jaaauuuuh lebih indah dari itu. Saya akan coba sampaikan kembali apa yang dibahas sama Nouman Ali Khan, yah, mudah-mudahan bisa tetap sampai maknanya.

Kata arrahman dan arrahim sama-sama berakar dari bahasa Arab rahm yang dalam bahasa Inggris diartikan intense love, care, concern, and mercy, mungkin kurang lebih sama dengan kasih sayang. Meski berasal dari kata yang sama, tapi arrahman dan arrahim adalah dua bentuk kata yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda juga.

Bentuk kata arrahman, menjadikan makna katanya memiliki 3 kualitas:
1. Extreme atau melebihi ekspetasi
2. Terjadi saat ini
3. Bersifat sementara (bisa menghilang karena sesuatu hal yang kita lakukan)

Jadi, arrahman bisa digambarkan bahwa, iyah Allah saat ini sedang mencintai kita, cintanya luar biasa banyaknya kepada kita bahkan melebihi ekspetasi. Cintaaa bangeeet pokoknya! Tapi kalau kita melanggar perintah-Nya maka kasih sayang itu bisa menghilang dari kita.

Sekarang kata arrahim. Bentuk katanya punya 2 kualitas:
1. Bersifat permanen
2. Tidak harus sekarang. Atau berlaku jangka panjang

Jadi, arrahim bisa digambarkan begini, Allah itu sayang sama kita. Allah cinta sama kita. Tapi nggak harus sekarang kok ditunjukkinnya, pokoknya seterusnya selamanya Allah sayang dan cinta sama kita, meski sekarang gak keliatan kasih sayangnya.

Lalu kenapa dua kata itu harus beriringan?

Karena Allah mau ngasih tau kita, Ia tidak hanya mencintai kita saat ini saja, tapi selamanya Allah memang Maha Mencintai.

Kenapa arrahman dulu baru arrahim?

Misalnya begini, Ibu saya jago masak. Semua masakannya selalu enak-enak. Lalu suatu hari, saya pulang kerja dan laper banget. Di rumah, si Ibu udah masak sayur asem sama ikan asin. Tapi bukannya ngebolehin saya makan masakannya yang enak itu, ibu malah nanya, "Besok mau makan apa, pi?".
Kan sebel yah. Apalagi buat orang yang kalau laper jadi galak.

Yang saya butuhkan ketika laper adalah makan saat ini juga. Baru nantinya setelah selesai makan, kalau ibu saya tanya, "Besok mau makan apa?", saya baru siap ngerespons dengan tepat, "Hmm..gurame bakar?" -aduh ngiler- gitu misalnya. Intinya, kita nggak akan mikir mau makan apa besok sebelum kita selesai makan hari ini. 

Kita akan mulai memikirkan masa depan apabila masa kini kita telah selesai diurus dengan baik. Kurang lebih itu pesannya.

Begitula Allah menyandingkan arrahman arrahim. Seolah-olah Allah mau bilang, "Aku mencintaimu saat ini, dengan luar biasa cinta, dan jangan khawatir, Aku juga Sang Maha Cinta yang akan mencintamu selamanya."

Pantas saja kalimat bismillahirrahmanirrahim selalu harus diucapkan di awal setiap kegiatan kita. Supaya kita ingat bahwa saat ini Allah mengurus kita dengan penuh cinta, dan Allah pula yang akan mengurus masa depan kita karena Ia mencintai kita. Lantas mau bersedih karena apa lagi? 

Tiba-tiba kata arrahman arrahim jadi terdengar begitu romantis buat saya. Bukan sekedar bagian dari rutinitas yang ditulis, kata yang diucap, atau bacaan wajib dalam sholat, tapi sebuah ungkapan cinta yang luar biasa dari Tuhan untuk hamba-Nya.

Allah romantis banget, yah? :)

6.10.15

Berkaca Lewat Cerita

Gak ada yang namanya "kebetulan" kan, yah?

Malem ini ada seorang teman yang cerita soal masalahnya, dia butuh pendapat dan masukan, sukur-sukur sayah bisa bantu mikirin solusi. Untung masalahnya bukan tentang pengaruh harga dollar terhadap keseharian karyawan wanita di Jakarta. Justru lebih rumit dari ituh. Tapi saya gak akan membahas masalah itu di sini. Selain karena ituh mengumbar aib orang lain, juga karena gak akan ada sutradara yang tertarik bikin FTV berdasarkan kisah temen saya ituh kok.

Intinya, selama 30 menit kemudian temen saya mulai cerita panjang lebar via chat di whatsapp. Saya sesekali menimpali dengan komentar singkat seperti, terus? oh gitu? hehe. Tapi semakin dibaca, cerita temen saya tadi terlihat semakin real. Saya seperti sedang jadi tokoh juga di cerita itu. Dan akhirnya saya bener-bener berkomentar dalam hati, Hey! Inih masalah yang gw hadapin juga!

Ini seperti berkendara di jalanan yang sama dengan banyak orang. Kita melihat motor atau mobil di depan, kanan, atau kiri kita, kemudian berkomentar,
Ah, motor di depan itu ban-nya kurang angin!
Mobil yang itu pintu belakangnya kurang rapet tuh!
Lah, itu ibu-ibu belok ke kiri tapi malah nyalain lampu sein ke kanan?!
Padahal, mungkin ban motor kita pun kurang angin, lampu sein lupa dimatikan, atau helm kebalik. Tapi kita nggak ngeh semua hal itu sedang terjadi juga di diri kita.


Mungkin memang lebih mudah melihat masalah orang lain lebih dulu dibanding masalah kita sendiri, yah?


Hal seperti itu benar-benar bisa terjadi, kok. Saya pernah lupa menaikkan standar motor saat nyetir. Nggak lama kemudian saya liat seorang bapak yang lupa menaikkan standar motornya, saya buru-buru ngecek standar motor saya juga. Dan ternyata bener. Akhirnya saya naikkan standar motor dan klakson si bapak-bapak tadi untuk ngingetin hal yang sama.

Jadi, mungkin yah, mungkiiin, Allah memang ingin saya sadar bahwa saya sedang dalam masalah. Langkah awal keluar dari masalah adalah sadar sepenuhnya bahwa -well- kita sedang dalam masalah! Dan uniknya, Allah mengingatkan saya melalui cerita temen saya tadi. 

Temen saya mungkin enggak tau bahwa saya sedang mengalami masalah yang sama. Tapi kan Allah tau. Apa susahnya bagi Allah mempertemukan kami dalam cerita?

Setelah temen saya tuntas cerita, saya jadi bisa melihat masalah dengan lebih logis.
Sama seperti kasus melihat ban motor orang lain yang kempes, tentunya dengan mudah kita akan langsung berpikir bahwa solusinya adalah pergi ke tukang tambal ban. Tapi coba kalau ban motor kita yang kempes. Kita sibuk berprasangka dulu, inih beneran kempes atau perasaan gw doang yah? kayaknya sih kempes. Coba diteken dulu deh. Seginih kempes gak yah?. Dan malah menunda menjalankan solusinya.

Akhirnya saya coba kasih masukan untuk temen saya tadi, kasih pendapat, dan bahkan sempat berusaha memberi solusi juga. Tapi yang temen saya gak tau adalah saya sedang bicara dengan diri saya sendiri. This is my problem too! But now I see it in a different light. A brighter one. (Duh tetiba banyak ninja sedang ngupas bawang merah di kamar sayah. Tissu mana? Tissuu?)

Pada bagian akhir, temen saya mengucapkan terima kasih karena sudah berbaik hati mendengarkan ceritanya. Saya pun mengucapkan terima kasih karena sudah berbaik hati membantu saya berkaca lewat ceritanya.

Mungkin ini salah satu penafsiran yang tepat untuk salah satu kalam Allah, bahwa saat kita berbuat baik untuk saudara kita, sesungguhnya kita sedang berbuat baik untuk diri kita sendiri. Inshaa Allah.