Genki Dama


Share The Energy Sphere

26.1.16

Homeostatis Hati

Akhir-akhir inih dingin, yah?
Hujan seharian ditambah sepoi angin yang suhunya lebih rendah dari biasanya, bikin saya butuh tambahan 5 menit (yakin cuma 5 menit? sepiik) untuk ngumpulin nyawa dan beranjak bangun di pagi hari. Apalagi kasur saya posesif banget.

Meski kondisi cuaca dingin begini, mungkin sekitar 21-23 derajat celcius, nyatanya mereka yang sehat tetap memiliki suhu tubuh normal kisaran 36-37 derajat celcius. Kenapa kok suhunya nggak turun ngikutin suhu lingkungannya?

Karena sistem tubuh kita mengupayakan berbagai macam hal yang amazing hanya untuk menjaga kondisi internalnya tetap normal, dalam hal ini suhu tubuh. Upayanya bisa macem-macem. Mulai dari merinding hingga bulu kuduk berdiri, hingga rasa lapar yang muncul karena tubuh butuh lebih banyak energi untuk melawan suhu dingin dan mempertahankan suhu normalnya.

Kondisi itu secara ilmiah disebut homeostatis.

Bukaan, dia bukan sejenis makanan kaleng. Homeostatis itu istilah untuk kemampuan mempertahankan kondisi internal suatu sistem. Sederhananya sih begitu. Kalau mau penjelasan yang lebih ilmiah, silakan gugling sendiri. Saya mau cerita ajah soal si homeostatis ala saya (alaah, bilang ajah kamu males, pi, ngejelasinnyaaa).


Lalu, tahukah kamu, hati kita juga punya kondisi homeostatis?

Beneran! Hati akan mengupayakan berbagai hal hanya untuk mempertahankan kondisi internalnya!

Cobalah acak-acak kondisi homeostatis hati, isilah hati dengan dunia, lihat apa yang akan kita dapatkan.
Duh, apakah besok saya bisa dapat uang lebih banyak?
Hmm, sepertinya besok harga emas naik! Saya harus beli banyak dari sekarang!
Ini harga dollar kenapa naik lagii?!

Cobalah acak-acak kondisi homeostatis hati, isilah hati dengan manusia, lihat apa yang akan kita dapatkan.
Hm, kalau saya baik sama bos pasti tahun depan saya naik jabatan.
Kok dia sekarang beda sama saya, yah? 
Yaa ampuun, whatsapp guah centang biru tapi gak dibaleees!

Khawatir, cemas, was-was, sedih, depresi, takut, apalagi?
Kalau pun ada senang, sifatnya benar-benar hanya sementara, tidak lama sampai ia berganti jadi khawatir, cemas, was-was, sedih, depresi, atau takut lagi.

Karena sejatinya hati harus diisi hanya dengan yang tidak akan menyakitinya, yang tidak akan mengecewakannya, dan tidak akan menyia-nyiakannya. Itulah kondisi homeostatis bagi hati: dipenuhi oleh Allah saja!


Semogah konsisten! *ngomong sama cermin*

Saat kita coba isi hati dengan selain Allah, maka hati akan bereaksi dengan segala emosi yang berantakan. Hati sedang berontak. Memaksa kita mengembalikannya pada kondisi homeostatis.

Imam Syafi'i pernah memberikan nasihat, "ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya."

Jadi, ketika rasanya hati ini semakin berat, penuh khawatir, cemas, dan takut, coba dicek lagi. Mungkin itu hanyalah reaksi wajar yang muncul ketika kondisi homeostatis hati diguncang oleh pengharapan pada dunia atau manusia. 

Sama seperti reaksi wajar tubuh yang menggigil kedinginan menghadapi cuaca mendung seharian. Hanya orang bodoh yang menggigil kedinginan kemudian malah pergi duduk di bawah AC dengan suhu 16 derajat sambil minum es kelapa, dan bukannya pergi memakai jaket serta sarung tangan hangat.

Saya juga nggak mau jadi orang bodoh seperti itu. Jadi mari ambil selimut, bungkus hati kita lalu kembalikan ke tempatnya. Ke kondisi homeostatis-nya: dipenuhi oleh Allah saja!

"...Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra'du ayat 28)


7.12.15

Ketika Si Khawatir Mampir

Udah baca komik jepang berjudul Seki-kun?
Kalau belum, coba baca, deh.
Gak maksa, kok.
Tapi baca, dong!

Ituh komik jepang yang plotnya simpel tapi "kaya", tentang Seki-kun, anak laki-laki yang duduk paling belakang di kelas dan setiap hari nggak pernah dengerin gurunya ngajar. Terus ngapain? Macem-macem! Seki-kun selalu punya kegiatan aneh di mejanya. Mulai dari ngegali fosil, main robot, sampai latihan nyetir mobil. Absurd.

Selain kegiatan "ajaib"nya Seki-kun, yang menarik dari cerita komik ini adalah reaksi Rumi, perempuan yang duduk persis di sebelah Seki-kun dan selalu jadi satu-satunya saksi kegiatan "ajaib" Seki-kun. Rumi khawatir guru mereka tau kelakukan Seki-kun, Rumi khawatir nilai Seki-kun jelek, Rumi khawatir waktu mainan Seki-kun rusak, to put is simple Rumi is a always full of worries.
  
Pernah ngerasa seperti Rumi? Full of worries?
Iyah, sayah juga pernah. 
Macam penyakit kambuhan malah.

Gara-gara khawatir sama kelakuan Seki-kun mulu, Rumi seringan gak konsen belajar, hahaha.

Biasanya kekhawatiran muncul karena ketidakpastian dan ketidakpahaman situasi. Misalnya, ketika seorang Ibu khawatir anak perempuannyah yang lembur belum pulang juga sampai jam 11 malam *uhuk* dan lupa ngasih kabar. Mungkin hujan? Mungkin motor-nya mogok? Mungkin macet? Mungkin hape-nya lowbet jadi gak kasih kabar? Mungkin anak sayah kena alien abduction?! Dan bermacam mungkin lainnyah.

Tapi ternyata lain cerita kalau si anak perempuan berkabar terlebih dahulu. Bu, aku pulang telat, lembur sampai jam 10. Setelah membalas dengan doa tulus hati-hati di jalan, yah, nak, Si Ibu bisa tenang nonton acara dangdut di TV sambil menunggu anaknya pulang. (Yes, that's how motherhood works, the worry has gone but the love show up).

Jika kekhawatiran muncul karena ketidakpastian, maka ia akan hilang karena rasa percaya. Si Ibu percaya anak-nya sedang di kantor dan bukan jualan narkoba di lampu merah. Terlebih lagi, usai mendoakan anaknya, Si Ibu percaya, ia telah menyerahkan semuanyah pada yang lebih berhak atas setiap nyawa. That's her best effort.

Kalau katanyah Walt Disney, "Why worry? If you've done the very best you can, worrying won't make it any better."

Ah jadi inget, dulu si bapak pernah cerita, saat sayah pertama diterima kuliah di Jakarta, kebayang rute perjalanan yang musti saya tempuh, si bapak khawatir. Tapi sekejap ajah. "Meski bapak di sebelah kamu, kalau Allah ingin menimpakan sesuatu maka bapak nggak bisa apa-apa. Jadi bapak tenang karena jelas Allah lebih bisa jaga kamu dari pada bapak." That's his best effort.
*aduh, kelilipan, nih*

Kekhawatiran boleh mampir, tapi ia tidak boleh tinggal.
Jadi saat rasa khawatir mulai "kambuh", coba rapal "mantra" inih:

Dear brain and heart..
please stop worrying about things you can't handle
We already have Allah, you know?
More than enough.
We're in a good hand.

Seperti ibu yang percaya doa-doanya pada Allah.
Seperti Ayah yang yakin penjagaan terbaik untuk anaknya hanya dari Allah.
Sayah juga mau punya rasa percaya dan yakin yang menenangkan seperti ituh. 

Supaya bebas dari kekhawatiran tentang hal di luar kendali sayah sebagai manusia. Seperti yang Imam Shafi'i pernah katakan, "My heart is at ease knowing what was meant for me will never miss me, and that what misses me was never meant for me." 


Apakah setelah itu kekhawatiran gak akan pernah muncul lagih?
Eeeey, masih manusia, kan?
Maka biarkan rasa khawatir mampir sejenak -dan hanya boleh sejenak- untuk mengingatkan bahwa sayah, Anda, kita, adalah manusia yang perlu saling mengingatkan.


ps:
Hmm..mungkin sayah perlu ngasih tau Rumi resep anti-khawatir macem inih supaya kehidupan dia di sekolah bisa lebih "damai". Hehehe..
 

21.11.15

When The Alarm Goes On!

Sepulang kerja. Jam 10 malam. Buka kulkas. Ada es krim magnum.

IT'S A WAR!!

Jangan, pi! Udah malem!
Kan bukan karbohidraaat!
Tapi es krim, woy! Manis!
Tapi kaan magnum mini doang!
Tutup kulkasnyah, cepetan!
Bentar, ngadem..
Alesan!
Dibilangin cuman ngadem!

Kemudian sayah udah lagi sibuk nyari tempat sampah untuk buang bungkus es krim. I lost in my own war. Tapi itu bukan bagian terburuknya. Setelah makan, sayah akan merasa bersalah. Post-war dialogue is always the worst.

Nyesel kan, lu?
Bangeet! Gimana, dong?
Auk! Capek gua..


Begitulah pesan Hulkbuster untuk sayah.


Rasa bersalah dan menyesal bukan hal yang asing buat sayah, meski konteksnya bukan melulu tentang makan. Hehehe.

Sebagai makhluk yang punya roller coaster mood, sepertinya sayah sering khilaf. Entah diperkataan, perbuatan, atau bahkan sekedar pikiran yang belum disampaikan. Lately, sayah kurang aware sama hal itu. 

Kalau kata Nouman Ali Khan, not letting our mood affect the way we treat people is a forgotten sunnah.

Iyah, sayah lupa sama sunnah yang satu itu. Berusaha mengesampingkan suasana hati dan tetap berkata dan berbuat baik kepada orang lain. Sayah lupa. Dan sayah merasa bersalah. Does apologizing enough?

Iyah, minta maaf ituh baik. Mohon ampun pada Allah itu baik.
Tapi ternyata merasa bersalah pun baik.
Masa?

Dalam salah satu khutbahnya, Nouman Ali Khan juga sempat cerita soal rasa bersalah. Dia bilang, guilt is a gift from Allah warning you that what you are doing is violating your soul.

Rasa bersalah itu bisa jadi peringatan dari Allah lewat hati kecil kita, bahwa Hey, seharusnya kamu nggak seperti itu! Seperti alarm kecil di belakang mobil yang berbunyi lebih cepat saat mobil hampir menabrak sesuatu. Alarm kecil yang menjaga kita lebih berhati-hati dan tidak sakit hati.

Guilt is a gift! Iyes, itu adalah berkah, hadiah, dari Allah. Bayangkan kalau Allah membiarkan sayah tanpa peringatan? Semua perbuatan buruk saya lakukan tanpa merasa bersalah. Ibaratnya alarm mobil tadi, bagian belakang mobil sudah penyok tertabrak berkali-kali, dan masih terus ditabrakin lagih. 

Lalu, kenapa alarm itu berbunyi?

Karena mendekati sesuatu yang berbahaya. 
Bahayanya lisan sayah menyakiti orang lain. Bahayanya perbuatan sayah menzalimi orang lain. Dan bahayanya pikiran buruk sayah terhadap orang lain.

Atuh sayah musti gimana biar gak mendekati hal yang berbahaya lagi?

Mungkin.
Salah satunya adalah belajar sabar. Seperti nasihat Ali bin Abi Thalib, Aku akan bersabar bahkan hingga kesabaran pun lelah melihat kesabaranku. 

Sabar, pi..