11.3.11

Sarapan bersama Ibu (dan pak SBY)


Tumben sekali ini saya pagi-pagu udah posting, pasti ada apa-apanya..

Well, not much, hanya ingin share bahwa ibu saya lagi-lagi berinovasi di dapur. Dari bahan-bahan yang sebenarnya biasa ada setiap hari, tapi karena jatuh di tangan ibu saya, maka semuanya yang biasa akan jadi "luar biasa".
I'm not flattering my own Mom, but She really deserve my compliment :P

Jadi inget pertanyaan sepupu saya waktu kami (saya, abang, dan adik) main ke rumahnya.
Sepupu : Waah, ini bertiga bersaudara makin pada gemuk-gemuk aja
Dan abang saya dengan c-o-o-l menjawab,
"Mau gimana lagi dong, Ibu kita masaknya enak," :D
Sebuah alibi yang bagus sekali, hehe.

Dan pagi ini, saat saya masih tidur-tiduran lagi sehabis sholat subuh, Ibu sudah sedang berkutat dengan kembang kol, wortel, dan kawan-kawannya. Demi mencium aroma wangi dari dapur, saya keluar kamar.
Saya paham betul karakter ibu saya, seandainya begitu keluar kamar saya langsung mengambil mangkok sarapan yang disediakan, sudah pasti hari ini saya sarapan dengan dihiasi wejangan panjang lebar tentang kamar saya yang berantakan atau apa saja yang berantakan di rumah. Jadi setelah mencuci muka dan sikat gigi, saya (tanpa disuruh) merapihkan karpet dulu. Betul saja kan dugaan saya, kalau saya beres-beres dulu, pagi ini Ibu nggak akan "komentar" soal kamar saya yang berantakan sisa mengerjakan makalah semalam.
Ibu justru bilang, "Pi, nanti yang nggak pedas ini kamu suapin ke Billa yah,"
hohohoh : SUKSES BESAR.

Jadi deh saya dan Ibu sarapan bersama. Sebenarnya hanya kombinasi antara capcay dan mie instan, tapi entah kenapa rasanya enaaak sekali. Mienya gurih, dimakan bersama kembang kol dan wortel yang manis, lalu ada kuah hangatnya, juga bakso dan daging ayam yang empuk dan gurih. Haduh, jadi pengen nambah :9

Mau dikasih nama apa yah makanan ini?




Tanpa membaca resep dari Internet atau buku resep apa pun, tanpa menimbang banyaknya garam dan bumbu lain yang harus dimasukkan. Tapi seorang Ibu tetap bisa "meramu" bahan-bahan masakan itu jadi sesuatu yang seimbang dan nikmat di lidah. Ada indera keenam soal masakan kah di tubuh Ibu-ibu? Mudah-mudahan suatu saat ada penelitiannya.

Sambil sarapan, Ibu juga suka nyeletuk sekali-kali, komentar tentang berita yang ada di TV. Dan pagi ini giliran berita "batal Reshuffle ala SBY". Malah katanya disinggung-singgung, sang Presiden bilang dari awal memang dia tidak pernah berkata langsung akan ada Reshuffle. Itu kan hanya anggapan media dari apa yang dia sampaikan, kurang lebih begitu.
Haaa...terserah bapak sajalah, kalau memang mau menggunakan sindiran dalam kalimat, manipulasi kata, atau bumbu-bumbu lainnya dalam berbicara, lebih baik jadi pengarang saja, pasti akan terkenal.
Baiknya kan seorang pemimpin itu bicara dengan maksud dan tujuan yang jelas, dengan bahasa yang dimengerti seluruh rakyatnya, dengan tanpa menyimpan maksud lain dibalik kata-katanya.
Seperti Ibu, tidak banyak bicara yang saya tidak mengerti. Kalau memang mau menegur saya, yah tegur saja. Kalau memang ada yang tidak Ibu suka, yah disebut saja. Dan Ibu tidak pernah membumbui kata-katanya, yang dia katakan adalah yang dia lakukan.

Balik ke soal Reshuffle. Yang ini juga mungkin pak Presiden perlu tanya sama Ibu-ibu, tidak harus Ibu saya. Kenapa saat mereka mencampur bahan-bahan masakan, takarannya bisa pas, dan rasanya jadi enak?
Sedangkan saat meramu komposisi pejabat pemerintahan, rasanya belum jadi menu enak sekali pun, selalu harus ada "bahan" yang diganti.
Masalahnya menurut saya, setiap bahan kan memang harus ada di takarannya, ada keseimbangannya. Supaya rasanya tidak dominan.
Makanya Ibu mengajarkan untuk memasukkan sedikit gula untuk masakan yang gurih atau berbumbu, dan memasukkan sedikit garam untuk masakan yang manis-manis seperti kue.
Supaya apa? Supaya seimbang.

Jadi menurut saya nggak masalah kalau dalam "resep" kabinet bapak ada perbedaan sedikit-sedikit. Ibaratnya semua bahan-bahan yang bapak gunakan rasanya manis, lalu ketika ada satu bahan yang jadi asin rasanya, lantas bapak ganti lagi dengan yang manis? Pantas saja rasanya "dominan".
Lihatlah nasi goreng, apa jadinya kalau yang dituang di atas nasi goreng itu saos bukannya kecap? Rasanya tidak akan senikmat ketika rasa pedas bertemu dengan manisnya kecap. Kadang memang kontradiktif diperlukan untuk memberikan sebuah "rasa".