2.5.11

Setengah Isi – Setengah Kosong: Paradigma Hak & Kewajiban

Hak Asasi Manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan, terlebih karena pelanggaran-pelanggaran terhadapnya. Sejarah mencatat perkembangan diakuinya hak asasi manusia dimulai dari zaman para filsuf seperti Aristoteles yang kemudian berkembang hingga sampai di Declaration of Human Right yang dikeluarkan oleh PBB. Indonesia sendiri memiliki gambaran umum mengenai hak asasi manusia berdasarkan dasar hukum negara kita.

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi : Hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi politik, hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi sosial dan kebudayaan serta hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan. Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

Padahal jika ingin lebih jauh dipahami, ide hak asasi manusia telah diberikan jauh sebelum Aristoteles lahir. Tepatnya pada zaman Rasulullah masih hidup dan oleh Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana penyampaian yang dilakukan Beliau mengenai hak asasi manusia. Beliau bersabda, “Sesungguhnya darah, harta kekayaan, dan harga diri kalian adalah terhormat, sebagaimana terhormatnya hari kalian ini, di negeri kalian dan di bulan ini.”

Beliau tidak mengatakan bahwa kalian berhak hidup, kalian berhak memiliki kekayaan, dan kalian berhak menjaga harga diri. Beliau justru mengatakan bahwa ketiga hal tersebut adalah terhormat. Hal ini mendatangkan konsekuensi yang berbeda dengan apabila Beliau menyebutkannya sebagai hak. Seperti filosofi gelas setengah isi atau setengah kosong, bukan sekedar bagaimana cara memandangnya, tapi juga bagaimana tindak lanjutnya.

Menyadari bahwa darah kita terhormat, maka sewajarnya kita berkewajiban menjaga sikap, menjaga adab, menjauh dari tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan darah kita tertumpah. Selanjutnya menyadari bahwa kekayaan kita terhormat, maka kita berkewajiban menggunakannya dengan baik untuk keperluan yang baik pula dan menyimpannya dengan baik. Serta menyadari bahwa harga diri kita terhormat, maka kewajiban kita untuk tidak merendahkan diri dengan perbuatan yang kriminil.

Konsep-konsep hak asasi manusia yang ada sekarang sudah pernah dicetuskan Nabi Muhammad SAW hanya saja dalam paradigma yang berbeda. Bukan hak yang ingin ditekankan tapi kewajiban. Konsep yang sama dengan paradigma yang berbeda tentunya akan membawa pada konsekuensi yang berbeda pula.

Misalnya saja dikatakan bahwa, ‘Anda berhak memiliki sesuatu dari orang lain, yang belum anda miliki’. Maka yang timbul adalah usaha untuk mendapatkan sesuatu dengan berbagai cara, berlanjut pada aksi saling rebut, dan akhirnya karena egoisme yang ada sifat rakus pun timbul. Lain halnya jika dikatakan, ‘Anda berkewajiban memberikan sesuatu pada orang lain, yang belum dia miliki’. Kalimat seperti ini justru akan menimbulkan usaha untuk saling memberi pada yang kurang, dan berdampak panjang pada tidak ada lagi yang kekurangan.

Dengan kata ‘hak’ orang berusaha untuk terus menuntut, tapi dengan kata ‘kewajiban’ kita berusaha untuk memberi. Sebagaimana pepatah lama, “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.