13.3.11

Gempa, Tsunami, dan Hati yang Selalu Merendah

Jepang diguncang gempa bumi lagi kemarin (11/03), kali ini bahkan termasuk yang sangat besar dengan skala 8.9 SR dan memicu Tsunami setinggi 10 meter yang lantas menelan ribuan nyawa, jutaan harta benda penduduk, dan bahkan mengancam kebocoran Reaktor Nuklir Jepang.

Sebelumnya, saya mau cerita sedikit tentang gempa dan tsunami. Kalau temen saya komentar, dia cuma bilang, "Nothings special, itu kan cuma fenomena alam, sama seperti hujan.". Secara konsep filosofis saya setuju, tapi kalau proses terjadinya tentu saja berbeda kan. Gempa bumi bisa dibedakan menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya.

Gempa Vulkanik
Gempa vulkanik disebabkan adanya aktivitas dan pergerakan luar biasa dari magma di dalam perut bumi yang akan mendesak keluar dari sebuah gunung berapi. Dorongan dan pergerakan magma ini menyebabkan tanah-tanah disekitarnya juga ikut bergetar, maka terjadilah gempa. Dan untuk gempa vulkanik biasanya diiringi dengan letusan gunung berapi.

Gempa Tektonik
Sedangkan gempa tektonik disebabkan adanya pergeseran lempeng bumi yang kemudian saling bertumbukan. Bayangkan saja kita meletakkan potongan-potongan gabus di dalam panci berisi air. Lalu panaskan airnya hingga mendidih. Kemudian tuangkan dan sajikan selagi hangat  perhatikan, gabus-gabus itu akan bergerak ke sana kemari, saling tumbuk satu sama lain.
Prinsipnya sama. Tanah tempat kita berpijak ini adalah lempeng-lempeng "gabus" yang terletak di atas "panci" berisi inti bumi cair yang panasnya luar biasa. Dan karena ada perbedaan suhu, cairan ini pun terus bergerak sebagaimana air mendidih yang bergolak. Jadilah lempeng-lempeng di atasnya terombang-ambing. Tapi tentu saja pergerakan lempeng bumi tidak seekstrim pergerakan gabus dalam panci panas tadi.

Lalu bagaimanakah sebuah gempa bisa memicu Tsunami?
Tsunami atau gelombang besar air laut ini memang bisa dipicu oleh gempa. Karena sebenarnya ia terjadi saat ada perubahan permukaan laut secara vertikal. Dan pergeseran atau tumbukan lempeng bisa mengakibatkan perubahan permukaan laut tersebut. Kurang lebih begitu.

Kenapa Gempa dan Tsunami disebut temen saya sama saja seperti hujan? Karena pada intinya yang Allah ciptakan serba seimbang. Dan jika ada yang goyah, maka mereka akan kembali mencari keseimbangannya. Air hujan dari bumi akan kembali ke bumi, apa jadinya kalau titik-titik hujan bertahan di awan? Ketidakseimbangan, dan langit akan gelap gulita. Gempa pun begitu, hanya bentuk pencarian keseimbangan segala ciptaan Allah ini.

Jepang yang menguasai teknologi canggih sudah sangat terbiasa dengan gempa, meski rasio gempanya dalam setahun masih lebih sedikit dari Indonesia, tapi belajar dari pengalaman mereka sudah sangat terlatih dan siap sedia menghadapi gempa. Sebut saja teknologi konstruksi anti-gempa dan juga barikade anti-tsunami di sepanjang garis pantai jepang.

Tapi nyatanya Allah berkehendak lain. Saat dulu teknologi konstruksi anti-gempa baru dikembangkan oleh Jepang, beberapa tahun kemudian Allah menguji mereka dengan gempa besar. Kobe kemudian rata dengan tanah. Jalan-jalan layang yang dibangun dengan konstruksi canggih pun dipaksa rebah. Padahal sudah anti gempa.
Lalu bertahun-tahun kemudian, ada prediksi datangnya Tsunami di Jepang, ternyata Tsunami justru mampir di Indonesia. Menghujam Aceh tanpa ampun. Kemudian Jepang kembali menujukkan teknologi terbarunya, yaitu barikade anti-tsunami di sepanjang garis pantai Jepang. Dan sekali lagi, bertahun kemudian, tepatnya persis kemarin, Allah berkata lain, barikade itu hanya diam saja dihempas ombak setinggi 10 meter. Padahal sudah anti tsunami.

Menjadi pintar, cerdas, berbakat, dan berteknologi maju memang sebuah hal yang membanggakan dan perlu diusahakan. Tapi bukan berarti diusahakan harus dibangga-banggakan. Karena kalau hati ini sudah terbang tinggi, lalu yang Maha Berhak Berhati Tinggi ingin menjatuhkannya lagi ke bumi, rasanya pasti sakit sekali.

Di rumah saya, salah satu pendidikan yang tidak pernah berhenti dilakukan dari dulu sampai sekarang oleh Bapak dan Ibu saya adalah soal hati ini. Terutama penyakit yang namanya "Sombong". Bahaya sekali kata Bapak, bahkan penyakit itu yang pertama kali membuat Iblis terusir.
Jadi, di rumah saya, jangan bayangkan ada Bapak dan Ibu yang gemar memuji anaknya saat mendapat rangking pertama atau sekedar berhasil melakukan sesuatu. Tidak akan ada satu kata pun yang seperti itu. Dulu saat masih SMA, setiap kali rapor saya sodorkan pada Bapak, beliau tidak perlu melihatnya.

Bapak : Ada angka 7-nya gak?
Saya : Ada cuma satu tapi kook, cuma ekonomi aja
Bapak : Yaah gimana sih, masa ada angka 7-nya

Terserah meskipun selain angka 7 itu adalah angka 9, yang Bapak permasalahkan hanyalah si angka 7 itu. Saya sudah paham sekali gaya Bapak dan Ibu yang seperti itu, tapi suatu kali saya nggak tahan untuk nggak protes. Pengen sekedar berkeluh-kesah aja.

Saya : Bapak mah yang diliat angka 7 doang, tapi kan Fisika pipi dapet 9, pak, kenapa nggak pernah disebut-sebut?
Bapak : Kenapa harus disebut-sebut, itu kan sudah bener dapet 9, udah bener kenapa harus diprotes kan? Jadi yang angka 7 aja bapak protes.
Saya : *yeeah..i know, iseng doang pak nanya*

Rencana Bapak dan Ibu soal mengurus hati anak-anaknya ini menurut saya bagus juga sih, supaya saya nggak terbiasa sama "butuh kata2 pujian". Juga terbiasa untuk paham bahwa kesombongan hanya akan berakhir pada keterpurukan sedangkan kerendahan hati lah yang akan membawa manusia pada kemuliaan.